Hong ulun basuki langgeng.
Jumpa lagi dengan kami, Sahabat. Bagaimana kabar Sahabat hari ini? Semoga tetap selalu tangguh, ya. Masih setia menunggu kisah seru kami tentang perayaan kasada bukan?, dan bila belum membaca kisah sebelumnya bisa kalian baca disini.
Menjajal Seruni Point
Hari ketiga berada di tengah-tengah peradaban suku Tengger, 9 Juli 2017. Sama seperti hari kemarin, yaitu kami awali dengan berburu sunrise. Bedanya, kali ini kami mencoba dari tempat lain. Seruni Point. Bedanya lagi, kali ini kami bersama Sahabat-sahabat lama yang kebetulan bertemu di acara Eksotika Bromo 2017, yang akhirnya menjadi satu penginapan. Selain berburu sunrise, kami dan teman-teman juga ingin mengabadikan lautan kabut di kaki-kaki gunung Bromo dan gunung Bathok dengan lebih indah daripada kemarin. Konon katanya, Seruni Point merupakan tempat menikmati lautan kabut paling indah.
Kami berangkat kurang lebih pukul 3 dini hari untuk berjaga-jaga jika jalanan macet, kami tidak terlambat sampai ke lokasi. Sebab, semakin dekat dengan hari H Yajña Kasasda, pengunjung di kawasan gunung Bromo semakin membeludak. Dan, benar juga. Kami sempat tertahan lama di pintu loket masuk TNBTS. Jalanan yang kami lalui terasa longgar, baru ketika masuk gerbang menuju Seruni Point.
Seruni Point merupakan nama lain dari Penanjakan 2. Awalnya, kami ingin naik sampai ke atas dan melihat sunrise sekaligus lautan kabut dari atas sana. Tapi karena dinginnya suhu yang mencapai 12°C dan ternyata di pos pertama pemandangan yang kami inginkan sudah tersedia, kami memutuskan sampai di pos pertama saja. Kami segera mempersiapkan peralatan tempur.
“Bagaikan pungguk merindukan bulan”. Sunrise yang kami harapkan hanya tampak semburat jingganya karena tertutup bukit. Dan, lautan kabut yang kami rindukan, tersapu bersih dari kaki-kaki gunung Bromo dan gunung Bathok di bawah sana. Hmmm… namanya juga alam. Tak bisa diduga kehendak lakunya. Tapi tenang saja, Sahabat. Pemandangan di pos pertama masih sangat indah. Semburat jingga yang tadinya hanya melayang-layang di ufuk Timur, semakin lama semakin mendarat dan menyebar. Menghujani perkampungan di bawah sana dengan cahaya-cahaya keemasan. Bahkan gunung-gunung juga turut terciprat warna lembayungnya (baca: warna jingga). Menjadikan pemandangan yang mampu memabukkan mata.



Hari sudah semakin siang saja. Membuat kami harus segera turun karena perut juga sudah memberikan sinyal-sinyal menuntut haknya. Dalam perjalanan turun, kami berkendara dengan sedikit lambat, bahkan beberapa kali terpaksa berhenti. Ternyata kepuasan memang tanpa batas jika terus dituruti. Selama perjalanan itu, ada saja pemandangan yang merayu-rayu, minta untuk diabadikan. Apalah daya kami, Sahabat. Beginilah jika antara hobi memotret dengan yang dipotret seperti gayung yang bersambut. Hahahaha…
Persiapan sebelum Yajña Kasada
Sore hari, kami melihat sebuah kesibukan di rumah Pak Karmoyo. Ternyata, di sana sedang ada persiapan ritual membuat sesaji yang akan dipersembahkan ketika Yajña Kasada. Nah, tanpa menunggu lebih lama lagi, kami yang penuh penasaran segera ikut bantu-bantu meski sedikit dan sebentar. Siapa tahu saja, bisa mendapat ilmu baru yang bermanfaat dari Pak Karmoyo atau dari orang-orang lain yang ada di situ.

Mengapa harus di rumah Pak Karmoyo? Karena: (1) Pak Karmoyo merupakan salah satu sesepuh di desa Ngadisari; (2) salah satu putra Pak Karmoyo pernah menjadi Kepala Desa Ngadisari selama 2 periode; dan (3) salah satu menantu Pak Karmoyo sekarang merupakan Kepala Desa Ngadisari. Beliau-beliau menjadi Kepala Desa hingga beberapa periode bukan dengan cara yang curang. Pak Karmoyo bercerita, bahwa sejak kecil beliau selalu membiasakan anak-anaknya berlaku jujur agar selalu dipercaya oleh orang lain. Agar selalu membantu orang yang kesusahan. Agar selalu menjaga kedamaian dan kerukunan. Sekarang, dapat dilihat bagaimana damai dan terntramnya penduduk desa Ngadisari.
Persiapan yang dilakukan, yaitu memindahkan kursi-kursi ke ruangan yang biasanya dijadikan warung oleh Pak Karmoyo karena ruangan itu lebih luas. Agar tamu-tamu yang datang lebih leluasa. Ruangan yang kosong, akan dijadikan sebagai tempat pembuatan sesaji. Yang terakhir, adalah membersihkan lantai dari debu-debu nakal.
Sesaji yang nanti akan dipersembahkan dalam Yajña Kasada berupa rangkaian berbagai macam hasil bumi. Ada daun pisang, sayuran, dan buah. Hasil-hasil bumi tersebut dirangkai di beberapa bilah bambu yang dibentuk sedemikian rupa agar indah dan mudah dibawa. Sesaji merupakan wujud rasa syukur kepada alam yang telah memberikan kehidupan dan kemakmuran di bumi suku Tengger.
Setelah ikut-ikutan membantu sedikit di persiapan ritual membuat sesaji, kami iseng berjalan-jalan santai berkeliling desa Ngadisari. Ketika lelah terasa, baru kami menuju warung untuk mengisi perut yang juga telah berkelontang main drumband. Kemudian, kami menuju Kantor Kelurahan Desa Ngadisari untuk mengikuti Malam Resepsi Yajña Kasada bersama warga-warga lainnya.

Malam Resepsi Yajña Kasada
“Kok resepsi, sih? Seperti nikahan saja.”
Pasti itu yang ada di pikiran Sahabat ketika mendengar nama acara ini. Malam Resepsi Yajña Kasada. Tunggu dulu, Sahabat. Tidak ada yang menikah, kok. Dan ini, bukan pernikahan. Hehehe…
Malam Resepsi Yajña Kasada merupakan salah satu dari rangkaian acara menuju Yajña Kasada. Seperti Eksotika Bromo 2017. Di Malam Resepsi ini, tamu undangan yang hadir sebagian besar adalah tamu-tamu undangan yang juga datang ketika Eksotika Bromo 2017 kemarin. Sayangnya, Ibu Hj. Puput Tantriana Sari Bupati Probolinggo yang cantik jelita tidak hadir. Beliau diwakili oleh Wakil Bupati Probolinggo, Bapak Ahmad Timbul Trihanjoko.


Acara Malam Resepsi Yajña Kasasda diawali dengan klenengan (Jw: musik gamelan berirama tenang). Setelah para tamu undangan datang, disambut dengan tampilan Tari Selamat Datang Topeng Gunung Sari oleh Jatiswara dari Surabaya. Jatiswara dipimpin oleh Bapak Joko Susilo. Dilanjutkan dengan sambutan ketua panitia yang berisi laporan kegiatan-kegiatan menuju Yajña Kasada. Disusul dengan sambutan Bapak Ahmad Timbul Trihanjoko selaku Wakil Bupati Probolinggo.


Sebelum acara malam resepsi benar-benar usai, kami sengaja undur diri terlebih dahulu. Mengapa? Karena, kami akan bersiap-siap menuju lokasi diadakannya Yajña Kasada, yaitu Pura Luhur Poten. Kami berangkat lebih awal, sekali lagi, karena tidak ingin terjebak macet. Sebab macet itu, sungguh amat melelahkan sekali dan membuang-buang waktu, Sahabat. Benar begitu, bukan? Hehehehe…
Sampai jumpa di acara puncak, ya. Upacara adat suku Tengger, Yajña Kasada tengah malam nanti di Pura Luhur Poten. Jangan sampai tertinggal, Sahabat. Dijamin seru, deh…