Hong ulun basuki langgeng
Selamat bulan Kasada lagi, Sahabat! Tahu kan bulan ini biasanya ada acara apa? Yup! Upacara adat wong Tengger, Yadnya Kasada. Nah, tahun ini, kami diberikan kesempatan lagi untuk menyaksikan salah satu upacara kegamaan umat Hindu yang paling megah se-Indonesia tersebut. Tak ketinggalan juga, acara rangkaiannya yakni Eksotika Bromo 2018. Ditambah lagi, kami juga ingin memperoleh beberapa informasi untuk karya yang akan kami buat. Mau tahu bagaimana Kasada kali ini? Yuk, simak kisah berikut!
Blitar-Ngadisari
Kami berangkat dari Blitar sehari sebelum Eksotika Bromo 2018 dimulai yakni tanggal 28 Juni 2018, sekitar pukul 7 pagi. Kami berangkat sebegitu pagi karena ingin mengikuti acara Pameran Eksotika Bromo 2018 yang diselenggarakan pukul 8 pagi dan Gladi Bersih Kidung Tengger (perayaan foto dan melukis on the spot) sejam setelahnya.Tapi kami tiba d lokasi pukul 11 siang, dan di tempat itu, tidak ada kegiatan apa-apa. Oleh karena itu, kami langsung naik menuju penginapan langganan kami yang letaknya hanya beberapa rumah dari Kantor Desa Ngadisari. Selain karena langganan, pemilik penginapan tersebut merupakan narasumber pilihan pertama kami yang kemudian dapat kami wawancarai setelah isya dengan mode obrolan santai sembari makan malam.
Antara Piodalan Jagat dan Yadnya Kasada
Diawali dengan menikmati sunrise di Seruni Point yang hanya ada semburat jingga di ufuk terbitnya tanpa bonus asap kawah dan lautan kabut, kami memulai hari kedua. Bersama kesegaran khas udara pegunungan, kami melanjutkan kegiatan dengan menuju ke Pura Luhur Poten untuk menyaksikan ritual yang dilaksanakan oleh wong Tengger sebelum Upacara Yadnya Kasada. Beruntung, di sana sedang diadakan sebuah ritual yang bernama Piodalan Jagat. Tapi ternyata, ritual ini bukan merupakan salah satu rangkaian Yadnya Kasada, melainkan untuk memperingati ulang tahun Pura dan sebagai wujud rasa terima kasih kepada Sang Hyang.

Di upacara Piodalan Jagat ini, hanya yang akan bersembahyanglah yang boleh masuk hingga Mandala Utama, sedangkan bagi pengunjung seperti kami, hanya diperbolehkan masuk hingga Mandala Madya saja. Di Mandala Madya, kami melihat beberapa sesepuh adat duduk berjajar di salah satu sisi dan memberikan doa kepada sesaji yang dibawa oleh beberapa orang. Sesaji itulah yang akan dilarung di kawah Gunung Bromo karena hari itu, cukup banyak masyarakat Tengger yang naik ke kawah untuk melakukan pelarungan sesaji.
Ada yang Beda di Eksotika Bromo 2018
Eksotika Bromo 2018 digelar. Berbeda dengan tahun lalu, tahun ini acara tersebut hanya diadakan sehari saja dan tidak ada sambutan dari pejabat yang diundang. Selain perbedaan tersebut ada beberapa inovasi lagi di Eksotika Bromo 2018, seperti adanya pameran foto bertema East JavaIn The Lens, perubahan pengisi acara, penataan tempat duduk, dan jumlah penonton.

Penampilan baru di Eksotika Bromo 2018, yaitu Topeng Dongkrek dari Madiun persembahan Sanggar Candra Budhaya yang menceritakan pengusiran roh oleh Raden Ngabei Lo Prawirodipuro ketika wabah penyakit menyerang masyarakat Mejayan, dan Topeng Hudoq khas Kalimantan Timur yang biasanya dilakukan untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan hasil pertanian yang melimpah. Nama Dongkrek berasal dari bunyi alat musik yang digunakan dalam tarian tersebut, yakni “dung” sebagai bunyi gendang dan “krek” sebagai bunyi alat musik berbentuk bujur sangkar yang disebut korek. Berbeda dengan Dongkrek, nama Hudoq yang berarti “penjelmaan”yang merujuk pada tokoh dalam tarian tersebut.
Tempat duduk untuk penonton tahun ini terbagi menjadi empat bagian: VIP, reguler, festival, dan lesehan. Hanya tiket untuk tempat duduk reguler dan festival saja yang diperjual-belikan. Untuk tempat duduk lesehan, disediakan bagi warga Tengger secara gratis. Itulah yang menjadikan Eksotika Bromo 2018 ini membeludak penontonnya.
Penampilan Sendratari Kidung Tengger yang menjadi puncak sekaligus penutup Eksotika Bromo 2018, menyajikan pola yang berbeda dalam penampilannya. Pembacaan puisi Kusuma kali ini berada di awal adegan, yang mana dibawakan oleh artis cantik Olivia Zallianty. Pemain-pemainnya pun berbeda meskipun kostum yang digunakan masih tetap sama.





Malamnya, penampilan Sendratari Kidung Tengger disajkan ulang dalam acara Resepsi Yadnya Kasada di Kantor Desa Ngadisari setelah pelantikan pejabat yang baru diangkat, dengan kemasan yang lebih sederhana namun justru lebih penuh penghayatan. Di acara Resepsi itu, juga diumumkan bahwa Desa Ngadisari sekarang memiliki museum Tengger, yang bertempat di salah satu gedung dalam Kantor Desa Ngadisari.

Yadnya Kasada 2018: Semakin Tertib dan Hidmat
Upacara keagamaan memang sebaiknya minim gangguan sehingga mereka yang sedang bersembahyang bisa khusyuk memuja dan memuji Tuan. Dan tempat ibadah, memang harus dijaga ketenangannya terutama ketika sedang ada ritual agama. Mungkin itulah yang menjadi alasan Upacara Kasada 2018 ini berbeda dari tahun lalu.
Dimulai dari luar, terdapat batas berupa tali rafia sejauh sekitar 10 meter dari tembok luar Pura Luhur Poten. Itu artinya, lokasi tersebut harus steril dari pedagang dan kendaraan. Banyak pengunjung yang mendirikan tenda di luar batas tersebut. Selain itu, jalur dari Pura menuju kawah Gunung Bromo juga steril, tidak seperti tahun kemarin yang dipenuhi pedagang. Jadi, perjalanan mereka yang ingin menuju kawah tidak terhambat.

Di dalam Pura bagian Mandala Nista dan Mandala Madya, masih sama. Namun, tidak begitu dengan Mandala Utama. Jika tahun lalu kain pembatas hanya membentang dari utara ke selatan dengan jarak sekitar 10 meter dari Bale Pawedan, tahun ini kain tersebut membatasi hingga di area utara Bale Pawedan dan Bangunan Sakepat. Hal ini membuat para fotografer memiliki ruang gerak yang lebih sempit dari sebelumnya. Mereka tidak bisa mendekat atau bahkan berada di depan Dukun Pandita seperti tahun lalu. Semoga para pengunjung memahami maksud dari perubahan peraturan tersebut.
Tahun lalu kami ketinggalan momen pelarungan sesaji dari ritual Upacara Yadnya Kasada di Pura, tahun 2018 ini kami beruntung bisa membayarnya. Demi mendapat momen tersebut, kami naik ke kawah terlebih dahulu sebelum upacara selesai. Sembari menunggu rombongan dari pura, kami menikmati indahnya lautan kabut dan sunrise dari puncak kawah.



Teriamakasih Bromo, Terimakasih Tengger
Memang banyak dari yang telah kami rencanakan, tidak berjalan sesuai keinginan. Tapi di sisi lain, banyak pelajaran dan pemahaman yang kami dapatkan. Dan kami, sangat bersyukur untuk itu. Sebab, terkadang apa yang kita inginkan belum tentu itu jugalah yang sebenarnya kita butuhkan.
Itulah cerita kami di Yadnya Kasada tahun 2018 ini. Bagi Sahabat yang belum sempat ke sana, semoga lain waktu bisa berkesempatan untuk menyaksikan upacara keagaman umat Hindu ini. Dan jangan lupa, terus ikuti perjalanan kami ya. Sampai jumpa!
Seru sekali sepertinya bisa menyaksikan momen Kasada.
Semoga suatu saat saya diberi kesempatan untuk berada di Bromo pas Kasada. 🙂
mohon maaf baru bisa balas komennya mas, wah bisa berkabar mas, siapa tau kita bisa berjumpa di sana 🙂