Babat Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo dalam Serat Babat Tanah Jawi menceritakan tentang Gong Pradah atau Gong Kyai Pradah, yang merupakan nama lain dari bende Kyai Becak. Bende itu milik Pangeran Prabu, saudara Pakubuwono I yang dititipkan kepada Nyi Partasuta sebelum Pangeran Prabu berangkat bertapa namun tidak pernah kembali sehingga bende tersebut akhirnya diwariskan turun temurun. Wasiat Pangeran Prabu kepada Nyi Partasuta ketika menitipkan bende tersebut, yaitu supaya bende dimandikan (siraman) dengan air bunga setaman setiap 1 Syawal (Idul Fitri) dan 12 Rabiulawal (Kelahiran Nabi Muhammad saw). Bunga setaman versi Jawa terdiri dari bunga mawar, melati, kanthil, dan kenanga. Air bekas siraman dapat digunakan sebagai obat penyakit dan jika diminum bisa menentramkan hati.
Nah dari sejarah itulah ritual Siraman Gong Kyai Pradah dilakukan setahun dua kali. Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1700an Masehi ritual tersebut masih sangat diminati rakyat. Bahkan ada yang rela datang jauh-jauh hanya demi melihat ritual itu atau sukur-sukur bisa kecipratan air bekas siramannya. Sahabat adakah yang pernah terkena cipratan siraman? Hehehehe….
Ritual siraman Gong Kyai Pradah banyak mengalami perubahan dan pergeseran makna. Pelaksanaan siraman tersebut pada mulanya dilakukan dengan sangat hikmat layaknya upacara bendera bersama tentara. Tapi kemudian seiring berjalannya si jaman kehidmatan ritual ini jadi sedikit terusik. Memang masyarakat masih sangat antusias datang dengan segala kehirukpikukan namun itu karena sebagian besar dari mereka hanya tertarik pada bazar dan festival yang diadakan sebelum acara siraman, atau pada tumpeng yang disediakan oleh pemerintah setempat usai ritual siraman. Sebagian besar lo ya. Artinya masih ada kok masyarakat yang maksud kedatangannya memang untuk ikut ritual. Namanya juga hati, siapa yang tahu. Nah Sahabat termasuk yang mana nih? Salah satu dari itu tadi atau justru ada yang lain? 😀
Siraman Kyai Pradah Desember 2017
Ritual Siraman Gong Kyai Pradah untuk kedua kalinya dalam tahun 2017 ini dilaksanakan tanggal 2 Desember 2017 di tempat biasa, halaman Kantor Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar atau biasa disebut Aloon-Aloon Lodoyo yang telah dikondisikan sedemikian rupa berikut pagar pembatas untuk penonton. Setelah sambutan dari pemerintah setempat dan beberapa tokoh masyarakat serta penampilan beberapa tarian di teras Kantor Kecamatan mereka menuju ke sebuah bangunan yang dinamakan panggung siraman untuk masuk ke acara inti. Bangunan tersebut jika dilihat dari bentuk atapnya merupakan bangunan segi delapan berlantai dua dengan tanpa dinding, hanya ada tiang-tiang penyangga dan pagar setinggi pundak orang dewasa. Letak bangunan itu berada di tengah Aloon-Aloon Lodoyo, di depan kantor Kecamatan Sutojayan.
Gong Kyai Pradah dikeluarkan dari bilik penyimpanannya dan digantung di tengah-tengah panggung siraman dengan masih terbalut kain mori putih yang kemudian diurai oleh Mbah Palil, juru kunci di petilasan dan penyimpanan gong. Sebelum dilakukan siram-menyiram dibacakan sejarah Kyai Pradah. Siraman dilakukan secara bergilir oleh para pejabat yang hadir, sesepuh, dan juru kunci. Air bekas siraman ditampung dalam sebuah wadah yang diletakkan di bawah gong yang kemudian diguyurkan kepada pengunjung yang berdesak-desakkan di bawah panggung siraman sampai habis. Gong Kyai Pradah pun dipukul sebanyak tujuh kali oleh Bapak Rijanto selaku Bupati Blitar sambil bertanya kepada penonton melalui mikrofon, “Kados pundi suwantenipun?” (bagaimana suaranya? –ind) dan penonton menjawab “Sae.” (bagus –ind).
Sebelum disimpan kembali ke bilik penyimpanan Gong Kyai Pradah diberi boreh kemudian dibungkus dengan kain mori putih yang baru. Boreh adalah bedak basah yang kuning warnanya dan harum baunya. Biasa juga disebut burat. Nah setelah pintu bilik penyimpanan ditutup maka selesailah sudah ritual inti Siraman Gong Kyai Pradah ini. Sesaji berupa tumpeng pun dikeluarkan. Masyarakat saling berebut tempat supaya bisa mengambil meski sedikit dari bagian tumpeng tersebut. Biar kebagian berkah, katanya. Unik ya… ^_^
Menjaga Tradisi
Begitulah Sahabat ritual siraman yang kedua di tahun 2017 ini. Meskipun ada yang menganggap makna-makna spiritual banyak yang telah berubah dari ritual ini terserahlah mereka mau berkata apa. Yang penting tradisi ini masih terjaga dan tetap berjalan sebagai wujud kepedulian kita kepada budaya di Indonesia. Indonesia itu apa? Ya ini, budaya-budaya ini. Dari sinilah Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita berasal. Tanpa budaya-budaya ini, apalah arti Indonesia. Hanya kumpulan manusia-manusia pekerja yang saling bersaing untuk mencukupi hidup masing-masing. Jaya selalu Indonesia!
Mana mbak polwannya 😀
Sudah di tambahkan mas :))) :v
Kayaknya banyak tempat di Indonesia air dianggap sebagai pembawa berkah dan penyembuh penyakit. Serunya acaranya. Ini pakai kalender Jawa ya cara menghitung tanggalnya?
Hehehe iya mbak, banyak tradisi seperti ini :D. Kalau setahu saya malah pakai kalender Islam sih Mbak, tapi banyak juga yg bilang memang dengan kalender Jawa, karena kalender Islam dan Jawa juga mirip” sih penanggalannya 😀 heheh