“Kamu jurusan apa, Yun?” tanya seorang teman yang sudah lama putus kontak.
“Emm, Sastra Inggris, Gung. Di UB,” kujawab singkat.
Kebetulan kami bertemu melalui sebuah media sosial yang kemudian kami lanjutkan dengan percakapan lebih jauh melalui Whatsapp. Hingga weekend minggu lalu saya mengajak dia jalan, bahasa kerennya explore kota sendiri. Niatnya biar tidak dibilang cupu saja kalau ditanya orang luar kota, “Kalo ke Blitar mana aja tempat yang bisa dikunjungi?” dan saya cuma bisa jawab dengan senyuman. Bukankah senyuman sudah cukup menjawab semuanya? Yaa… terserah yang nerima juga sih mau interpretasinya gimana. Hihihi..
Iya, saya tinggal di Blitar, kota kecil yang lebih dikenal dengan Kota Bung Karno. Kota kesayangan yang penduduknya adem ayem tanpa adanya mall, perusahaan besar, hotel bertingkat puluhan, franchise terkenal McD, ataupun kemacetan parah seperti kota-kota besar lainnya. Yaaah, kecuali malam tahun baru ya hehe. Ikon terkenal dari kota kecil ini adalah adanya makam proklamator Bung Karno.
Sebenarnya jalan kali ini adalah sedikit pelarian dari tugas akhir a.k.a skripsi yang selama tiga bulan terakhir mampu memporak porandakan jadwal jalan-jalan saya *sad*. Dan si Agung ini, teman MI tepatnya berhasil membujuk saya untuk beranjak dari kamar kos dan kemudian kembali mengajak partner kesayangan saya jalan (baca: sandal gunung). Dan taraaa… berangkat juga akhirnya, hari Sabtu yang lumayan cerah, mengingat hujan yang sedang rajin-rajinnya turun beberapa hari ini. Ditambah lagi teman satu orang, temen MI juga, namanya Fajar. Pembelaan yang bisa saya buat dari hal ini adalah, saya bukan jalan-jalan, tapi saya reunian haha!
Tujuan kita hari ini adalah ke Desa Bakung, salah satu desa yang masih masuk ke dalam Kecamatan Kademangan. Butuh waktu sekitar setengah sampai satu jam perjalanan dari kota menuju desa ini, tergantung tempat mana yang dituju. Cukup kaget juga sebenarnya Blitar punya tempat ini, Jurug Goa Luweg namanya, semacam goa yang di dalamnya terdapat air terjun kecil yang berasal dari aliran sungai diatasnya. Tidak perlu bayar banyak kalau mau kesini, cukup parkir kendaraan seharga tiga ribu rupiah lalu berjalan sekitar lima menit, sedikit menuruni jalan setapak dan sampai deh.
Mengingat sekarang sedang musim hujan, hal pertama yang harus saya sampaikan adalah hati-hati kalau jalan, karena untuk sampai ke dalam goa kamu harus melewati bebatuan yang licin, jangan lari-lari hehe. Satu hal juga yang disayangkan, meskipun aliran air lumayan deras, tapi warna coklat sedikit mengurangi keindahan tempat ini. Di luar goa, ada beberapa jurug kecil yang bertingkat, kebetulan ketika saya datang kesana, air yang ada diatas sedang kering, dan juga untuk turun ke bawah sangat tidak memungkinkan karena longsor di salah satu tempat. Oiya, untuk melewati jurug kecil dari atas ke bawah atau sebaliknya, kamu bisa menggunakan tali tambang yang telah disediakan disana, tapi tetap saja, batuannya licin jadi safety first. Tenang saja, untuk kamu yang punya nyali sedikit seperti saya ini, cari saja jalan memutar melewati jembatan.
Sedikit saran kalau mau tempat ini sedikit bagus yaa dibuatlah spot-spot foto yang kece hehe, dan yang terpenting harus tetap dijaga kebersihannya. Inget! Jangan buang sampah sembarangan, kalau tidak mau buang bungkus makanan atau minuman ke tempat sampah, makan sekalian sama pembungkusnya! Ups, sorry frontal.
Sudah itu saja yang bisa diceritakan dari Jurug Goa Luweg, cerita selanjutnya ini masih di jurug yang tidak jauh dari tempat ini, namanya Jurug Muncar. Ngeeeeeng….
Untuk sampai ke Jurug Muncar dari Jurug Goa Luweg kamu perlu berkendara sekitar setengah jam perjalanan. Tidak semulus sebelumnya, beberapa sisi jalan ada yang lumayan bergelombang asik apalagi ketika kamu akan sampai di tempat tujuan. Jurug ini tipe-tipenya hampir sama seperti sebelumnya, dari kontur batu-batuan dan juga aliran airnya. Tapi di Jurug Muncar ini tempatnya lebih luas dan panas. Kebetulan ketika kita datang kesana, tempat ini benar-benar sepi, tidak ada tukang parkir, tidak ada penjual, dan tidak ada orang lewat. Dari parkiran ke jurug kamu harus melakukan sedikit treking menurun selama sepuluh menit. Dari jauh kamu sudah bisa mendengar suara airnya yang deras, karena memang jurug ini lebih tinggi. Ketika sampai di sana, jujur saya kaget, karena letak jurugnya nyempil, jadi pemandangan yang langsung kena ke mata adalah hamparan bebatuan. Menurut informasi dari orang yang pernah kesini juga, hamparan bebatuan ini akan tertutup air dan kelihatan lebih bagus pada bulaaaaaan apa ya, agak lupa hehe maaf, yang jelas waktu musim hujan terakhir, jadi debit air lebih banyak dan warnanya bisa biru gitu.
Kita tidak berhenti lama di situ, kasihan ini kulit gosong. Cusss melipirlah kita cari tempat yang lebih rindang dan ada tempat duduk bambu di sana. Agung sibuk meracuni saya dengan cerita-cerita selama dia jalan ke Aceh, Pulau Komodo, dan tempat-tempat lainnya. Fajar yang terus menimpali Agung dengan sedikit guyonan dan pertanyaan. Saya? Pendengar sejati, ikutan ketawa, tanya dikit-dikit kalau udah tak bisa nahan penasaran tentu saja mupeng, di dalem hati sih. Tambahan lagi, sedikit ngantuk hehe.
“Besok free?” Agung nyeletuk.
“Iya, free laah. Mau ke mana?”
“Yaudah, besok ikutan jalan lagi.”
“Siap lah!”
Cussss pulang.